Rabu, 27 November 2013

potensi sungai di mamberamo papua

  Sungai Mamberamo terletak di sebelah selatan Pegunungan Foja, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Beberapa suku terasing bermukim di lembah sungai yang kaya akan keanekaragaman hayati ini, karenanya Mamberamo dijuluki ‘Amazonnya Papua’. Sungai Mamberamo merupakan sungai dengan lebar terbesar di Indonesia. Sumber air sungai ini berasal dari pertemuan antara beberapa anak sungai utama, yaitu Tariku, Van Dallen dan Taritau. Air sungai mengalir ke arah utara melalui lembah Pegunungan Van Rees menuju bagian delta yang berawa dataran rendah dan akhirnya bermuara di Samudera Pasifik di titik utara Tanjung D’Urville. Secara geologis, Mamberamo dan kawasan sekitarnya memang cukup menarik karena tersusun oleh endapan batuan sedimen yang tebalnya mencapai ribuan meter serta terpotong-potong oleh struktur geologi yang rumit. Juga karena masih dipengaruhi oleh tekanan tektonik aktif, di beberapa tempat muncul fenomena alam berupa keluarnya semburan Lumpur dari dalam bumi (mudvolcano). Fenomena ini mudah dikenali dari penampakan di lapangan yang jika diamati dari udara bentuknya berupa kumpulan lumpur dan pasir berwarna abu-abu berbentuk sirkuler dengan diameter lebih dari 50 m yang muncul di tengah-tengah hutan lebat. Lanskap di sekitar sungai ini bervariasi. Di daerah hulu berupa pegunungan yang curam, di daerah hilir terdapat dataran yang berawa-rawa, dan di bagian tengah berupa cekungan dataran tinggi yang luas.

Sungai Mamberamo secara keseluruhan mempunyai panjang 870 km dan memiliki kawasan resapan seluas 138.877 km², dengan kedalaman sungai berkisar antara 8 hingga 33 m. Arus Sungai Mamberamo cukup tenang pada bagian tepinya namun sangat kuat di bagian tengahnya (dapat mencapai kecepatan aliran 450 km/jam). Sungai ini meskipun alirannya besar namun dapat diarungi dengan perahu bermotor berbobot 30 ton, mulai dari muara (Tanjung D’Urville) hingga 200 km ke arah hulu dan melewati beberapa arum jeram, salah satu yang paling dikenal adalah Batavia Rapids. Di beberapa  tempat terdapat fenomena arus berputar yang sangat berbahaya dan menurut catatan telah terjadi beberapa kecelakaan perahu yang merenggut nyawa manusia karena perahu terjebak arus dan akhirnya tenggelam.

Nama “Mamberamo” itu sendiri konon berasal dari bahasa Dani - mambe berarti “besar” dan ramo berarti “air”. Suku Dani dan beberapa suku terasing lainnya bermukim di lembah sungai ini yang kaya akan keanekaragaman hayati. Jika dilihat dari udara, Sungai Mamberamo mudah dikenal karena ukurannya yang besar, berwarna coklat, banyak mempunyai  kelokan (meander) serta danau tapal kuda (oxbow lake) sebagai hasil perpindahan alur sungai dan debit airnya mampu mencapai 5.500 m³/detik. Berkat besarnya debit ini, Pemerintah Indonesia pernah berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah ini.

Beberapa spesies baru yang ditemukan di hutan tropis Sungai Mamberamo berketinggian 2.000 mdpl antara lain kupu-kupu hitam dan putih (Ideopsis fojona), katak berhidung panjang (Litoria sp. nov), pergam kaisar (Dacula sp. nov). Di samping itu juga ditemukan spesies endemik baru seperti kelelawar kembang (Syconycteris sp. nov), tikus pohon kecil (Pogonomys sp. nov), semak belukar berbunga (Ardisia hymenandroides), dan walabi kecil (Darcopsulus sp. nov). Di luar temuan itu, kawasan ini juga dihuni oleh  143 jenis burung, termasuk Cenderawasih yang memiliki tubuh dan warna bulu sangat elok dipandang mata. Dua jenis buaya, yakni buaya muara (Crocodile porossus) dan buaya darat (Crocodile novaquinea), juga bermukim di sungai yang memiliki lebar terbesar di Indonesia. Kedua spesies-buaya ini menjadi perburuan bagi masyarakat tradisional, khususnya dari suku Bauzi dengan cara berburu yang khas. Dulu, untuk menangkap buaya beberapa pria harus menyelam. Alat yang dipakai hanya tali rotan. Kini, sudah agak maju yaitu dengan menggunakan tombak (dao) dan kail untuk memburu buaya. Daging hasil perburuan itu dikonsumsi, sedangkan kulitnya dijual dengan harga tinggi.

Potensi floranya juga menakjubkan. Pada DAS Mamberamo terdapat sekitar 300.000 Ha hutan sagu. Sagu-sagu itu tumbuh subur di sepanjang sungai, erutama di bagian hilir dan rawa-rawa. Selama ini, sagu hanya dijadikan makanan utama bagi penduduk lokal. Kalau saja sagu-sagu inidikonversi menjadi bio-etanol maka akan menghasilkan lebih dari 4,5 juta liter per tahun. Bio-etanol merupakan sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan. Ia dapat dipanen kapan saja sepanjang sagu-sagu tersebut tumbuh. Potensi pohon nipahnya juga sangat besar. Hasil sadapannya juga dapat diolah menjadi bio-etanol berkualitas tinggi. Singkat kata, sumber daya raksasa tersebut merupakan
masa depan yang gemilang bagi tumbuhnya industri bio-etanol.